Busana Muslim
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMNqUpv7EqOLYSi7bb2rOMxpTD1uXjP6ZXmrDN6DhCA2E3j0CEzX27lZu4f2F2vIvyY3pbZNt2zzXyIH9cT0RIK25eZoqwHtVHVT3Fn8PrDA6jhyphenhyphenDVvrJwzR3TV6i1n1TlJr-wp6CmgUf1/s320/hijab.jpg)
Pertanyaan :
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustadz, ada beberapa hal yang ingin ana tanyakan sehubungan dengan busana muslimah :
1.Bolehkah
wanita memakai busana muslimah berwarna selain hitam (tetapi cenderung
ke warna gelap,mis : biru tua, coklat, ungu tua )?
2.Bolehkah wanita memakai busana muslimah yang bermotif,bercorak batik /bordir/renda/payet?
Mohon penjelasan dari Ustadz berkaitan dengan masalah tersebut, Jazakumullahu khoiron
Jawab :
Syaikh Muhammad Ali Farkuus yang berasal dari Algeria pernah ditanya
dengan suatu pertanyaan yang ada hubungannya dengan pertanyaan di atas.
Maka saya akan menukilkan pertanyaan dan jawaban beliau –hafidzohulloh-.
Pertanyaannya :
Sebagian
wanita memakai khimar (tutup kepala/jilbab bagian atas-pent) yang
warnanya berbeda dengan warna ‘abaa’ah (jilbab bagian bawah-pent),
terkadang hal ini menarik perhatian. Apakah boleh memakai jilbab yang
warnanya berbeda antara jilbab atasan dan bawahannya? Warna-warna khimar
apakah yang manakah yang mungkin dikatakan warna yang disyari’atkan?,
semoga Allah membalas kebaikan bagi anda.
Jawaban beliau –hafidzohulloh- :
Segala
puji bagi Allah Robbul ‘aalamiin, sholawat dan salam kepada Nabi yang
diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi semesta alam, dan juga bagi
keluarganya dan para sahabatnya hingga hari kiamat.
Yang wajib dalam permasalahan khimar adalah :
Pertama
: khimar (atasan jilbab) tersebut hendaknya dijulurkan dari atas
kepalanya dan dilipat di lehernya, juga menjulurkannya di atas dadanya,
sehingga ia menjulurkan jilbabnya dengan menutup kepalanya dan menutup
lehernya, kedua telinganya, dadanya dan yang semisalnya, karena Allah
berfirman :
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya” (QS An-Nuur : 31)
…
Kedua
: Sebagaimana telah diketahui bahwasanya para wanita dan para lelaki
sama dalam permasalahan hukum selama tidak ada dalil yang membedakan
antara para wanita dan para lelaki dalam hukum. Demikian juga bahwasanya
hukum asal dalam warna-warna pakaian adalah halal dan diperbolehkan,
kecuali jika ada dalil yang melarang warna-warna tersebut bagi kaum
lelaki dan kaum wanita atau ada dalil yang melarang warna-warna tersebut
untuk kaum lelaki atau dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk
kaum wanita.
Mengenai warna-warna (yang diperbolehkan untuk jilbab para wanita) adalah sebagai berikut :
Adapun warna hitam untuk (jilbab) para wanita maka telah datang dalam hadits Ummu Salamah –radhiallahu ‘anhaa- ia berkata
:«
لَمَّا نَزَلَتْ ?يُدَنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ? خَرَجَ
نِسَاءُ الأنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُؤوسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنَ
الأكْسِيَةِ »
Tatkala turun firman Allah (Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka) maka keluarlah para
wanita dari kaum Anshoor, seakan-akan di atas kepala-kepala mereka ada
pakaian seperti burung-burung gagak” (HR Abu Dawud no 4101 dan
disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah hal
82)
Ummu Salamah menyamakan kain khimar yang ada di atas
kepala-kepala para wanita yang dijadikan jilbab dengan burung-burung
gagak dari sisi warna hitamnya.
Dalil lain yang menunjukan akan bolehnya warna hitam bagi para wanita adalah hadits Ummu Kholid, ia berkata
«
أُتي النبيُّ بثيابٍ فيها خَميصةُ سوداءُ صغيرةٌ فقال:« مَن تَرَون أن
نكسوَ هذهِ »؟ فسكتَ القومُ. قال:« ائتُوني بأمِّ خالدٍ »، فأتيَ بها
تُحمل، فأخذ الخميصةَ بيدهِ فألبَسَها وقال: أبْلِي وأخلِقي. وكان فيها
عَلمٌ أخضرُ أو أصفر »
Nabi diberikan baju-baju, diantaranya ada
khomiisoh kecil yang berwarna hitam. Maka nabipun berkata, “Menurut
kalian kepada siapakah kita berikan kain ini?”. Orang-orang pada diam,
lalu Nabi berkata, “Datangkanlah kepadaku Ummu Kholid !”, maka
didatangkanlah Ummu Kholid dalam keadaan diangkat (karena masih
kanak-kanak, lihat Umdatul Qoori 31/473-pent), lalu Nabipun mengambil
kain tersebut dengan tangannya lalu memakaikannya kepada Ummu Kholid dan
berkata, “Bajumu sudah usang, gantilah bajumu”. Pada kain tersebut ada
garis-garis (corak) berwarna hijau atau kuning. (HR Al-Bukhari no 5485,
Abu Dawud no 4024, dan Ahmad no 26517)
Adapun warna hijau untuk
pakaian para wanita maka telah absah dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhari bahwasanya Rifa’ah menceraikan istrinya maka
istrinyapun dinikahi oleh Abdurrahman bin Az-Zubair Al-Qurozhi. Aisyah
radhiallahu ‘anhaa berkata, وعليها خِمارٌ أخضر، فشكَتْ إليها، وأرَتها
خُضرةً بجلدها.. “Ia memakai khimar berwarna hijau, maka iapun mengadu
kepada Aisyah dan memperlihatkan kepada Aisyah adanya warna
kehijau-hijauan di kulitnya….” (HR Al-Bukhari no 5487)
Adapun
pakaian berwarna merah maka hanya boleh untuk kaum wanita dan tidak
boleh bagi kaum lelaki. Dalilnya sebagaimana hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
رَأَى
النَّبِيُّ عَلَيَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ. فَقَالَ:« أَأُمُّكَ
أَمَرَتْكَ بِهَذَا؟ » قُلْتُ: أَغْسِلُهُمَا، قَالَ:« بَلْ احْرِقْهُمَا
Nabi
shallahu ‘alaihi wa sallam melihatku memakai dua belah baju yang
mu’ashfar. Maka Nabi berkata, “Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai
baju ini?”. Aku berkata, “Aku cuci kedua baju ini?”, Nabi berkata,
“Bahkan bakarlah kedua baju itu” (HR Muslim no 5436)
Dan yang
dimaksud dengan dua buah baju mu’ashfar adalah dua baju yang dicelup
dengan celupan berwarna merah (atau dicelup dengan warna kuning yang
terbuat dari tumbuhan tertentu-pent). Imam An-Nawawi berkata tentang
sabda Nabi “Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?” :
Maknanya adalah ini termasuk pakaian para wanita, model, dan akhlak
mereka” (Syarh Shahih Muslim 14/55), beliau juga berkata : “Adapun
perintah Nabi untuk membakar baju tersebut maka –dikatakan- karena
sebagai hukuman dan sikap keras terhadapnya dan terhadap orang lain agar
meninggalkan perbuatan seperti ini. Hal ini semisal dengan perintah
Nabi kepada wanita yang telah melaknat ontanya agar sang wanita
melepaskan onta tersebut…”
Dalil yang lain yang menunjukan akan hal ini adalah hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata,
هَبَطْنَا
مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وآله وسَلَّم مِنْ ثَنِيَّةٍ فالْتَفَتَ
إلَيَّ وَعَليَّ رَيْطَةٌ مُضَرَّجَةٌ بالْعُصْفُرِ فقال: مَا هذِهِ
الرَّيْطَةُ عَلَيْكَ؟ فَعَرَفْتُ مَا كَرِهَ، فأَتَيْتُ أهْلِي وَهُمْ
يَسْجُرُون تَنُّورًا لَهُمْ فَقَذَفْتُهَا فِيهِ ثُمَّ أتَيْتُهُ مِنَ
الْغَدِ، فقال: يَا عَبْدَ اللهِ مَا فَعَلْتَ الرَّيْطَةَ، فأَخْبَرْتُهُ،
فقال: ألاَ كَسَوْتَهَا بَعْضَ أهْلِكَ فإنَّهُ لاَ بَأْس بِهِ
لِلنِّسَاءِ »
“Kami turun bersama Rasulullah shallallahu ‘alaih
wa sallam dari Tsaniyyah. Kemudian beliau menoleh kepadaku dengan
keadaan memakai pakaian lembut yang dicelup dengan ushfur. Maka beliau
bertanya: “Apa ini yang engkau pakai?” Maka akupun mengetahui Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukainya. Akupun mendatangi
keluargaku dalam keadaan mereka menyalakan api tanur dan aku lemparkan
baju itu ke dalamnya. Kemudian aku mendatangi beliau pada besok harinya.
Beliau bertanya: “Bagaimana nasib bajumu?” Maka aku ceritakan apa yang
aku lakukan pada baju itu. Maka beliau berkata: “Kenapa engkau tidak
memakaikan baju itu pada sebagian keluargamu. Karena baju tersebut tidak
apa-apa jika dipakai wanita.” (HR. Abu Dawud: 4066, Ibnu Majah: 3603,
Ahmad: 6813 dan di-hasan-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi
Dawud: 4066).
Adapun pakaian berwarna putih maka telah diketahui bersama sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
الْبِسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فإنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُم
“Pakailah
pakaian-pakaian kalian yang berwarna putih, sesungguhnya itu merupakan
pakaian kalian yang terbaik, dan hendaknya kalian mengkafani mayat-mayat
kalian dengan kain putih” (HR Abu Dawud no 3878, At-Thirmidzi no 944,
Ibnu Majah no 1472, Ahmad no 3332, dan hadits ini dishahihkan oleh Ibnul
Mulaqqin dalam al-Badr al-Muniir 4/671, Ahmad Syakir dalam tahqiq
Musnad Ahmad 5/143, dan Al-Albani dalam Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah hal
82)
Demikian juga warna kuning (diperbolehkan) bagi kaum lelaki. Telah abasah dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhumaa ia berkata
وَأَمَّا
الصُّفْرَةُ فَإِنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَصْبِغُ بِهَا فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَصْبغَ ِبهَا
Adapun
warna kuning maka aku telah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyelupkan pakaian ke warna kuning, maka aku suka untuk mencelupkan
pakaian dengan warna kuning” (HR Al-Bukhari no 164, Abu Dawud no 1772,
Ahmad no 5316). Dan dalam sunan Abu Dawud dari Ibnu Umar beliau berkata
وَقَدْ كَانَ يَصْبِغُ بِهَا ثِيَابَهُ كُلَّهَا حَتَّى عِمَامَتَهُ “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelupkan seluruh pakaiannya ke warna
kuning, bahkan sorban beliau juga” (HR Abu Dawud no 4064)
Hadits-hadits
diatas menunjukan akan bolehnya memakai pakaian berwarna hitam, hijau,
dan merah bagi para wanita dengan nash dari Nabi, dan ini juga berlaku
bagi kaum lelaki berdasarkan hukum asal yang telah lalu penjelasannya,
kecuali warna merah yang khusus bagi para wanita. Adapun warna putih dan
kuning maka boleh juga bagi wanita dengan dasar hukum asal yang telah
lalu penjelasannya tentang bolehnya menggunakan seluruh warna karena
tidak ada dalil yang melarangnya atau mengkhususkannya.
Dan perlu
untuk diingatkan bahwasanya warna-warna yang menggoda (menarik
perhatian) atau yang menyala (mengkilat) yang dipakai oleh para wanita
pemuja nafsu, pengucap kata-kata kotor dan hina, maka warna-warna
tersebut menjadi terlarang dari sisi larangan bertasyabbuh dan juga bisa
membangkitkan gejolak syahwat. Demikian juga halnya dengan warna-warna
pakaian yang khususnya dipakai oleh sebagian jama’ah-jama’ah keagamaan,
maka dilarang sengaja mengikuti model dan warna yang merupakan ciri-ciri
jama’ah-jama’ah tersebut, karena kawatir akan timbulnya bid’ah dalam
agama. Sebagaimana pula dilarang bermodel (bergaya) dengan warna bendera
negara tertentu atau group atau perkumpulan tertentu –terutama yang
berasal dari negara kafir- karena hal ini akan mengantarkan kepada
syirik mahabbah dan ta’dziim, serta penerapan al-walaa wa al-baroo yang
bukan pada tempatnya.
(Diterjemahkan dengan bebas dan sedikit
perubahan oleh Firanda Andirja dari fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkuus
Al-Jazaairi no 992)
Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :
Apakah boleh seorang wanita menggunakan jilbab selain warna hitam?
Beliau –rahimahullah- menjawab :
“Seakan-akan
penanya berkata : Apakah boleh seorang wanita memakai khimar (penutup
jilbab bagian atas kepala?) selain berwarna hitam?. Maka jawabannya
adalah : Iya, boleh bagi sang wanita untuk memakai khimar yang selain
berwarna hitam dengan syarat khimar tersebut tidak seperti gutrohnya
lelaki (gutroh adalah kain penutup kepala yang sering digunakan oleh
penduduk Arab Saudi-pent). Kalau khimar tersebut seperti gutrohnya
lelaki maka hukumnya haram karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat para lelaki yang meniru-niru kaum wanita dan melaknat para
wanita yang menyerupai kaum lelaki. Adapun jika khimarnya berwarna putih
akan tetapi wanita tersebut tidak memakainya sebagaimana cara pakai
lelaki maka jika penggunaan khimar berwarna putih tersbut merupakan adat
penduduk negerinya maka tidak mengapa untuk dipakai. Adapun jika
pemakaian khimar putih tidak biasa menurut adat mereka maka tidak boleh
dipakai karena hal itu merupakan pakaian syuhroh (ketenaran/tampil beda)
yang terlarang”.
Baju Muslim
Toko Online Baju Muslim
Untuk pemesanan silahkan kirim :
Nama | Alamat Lengkap | Nomor yang dapat dihubungi.
Jumlah | Nama Produk | Model | Warna | Ukuran.
Telp:
0813 1110 6637
0857 1930 6033
0877 7107 9633
021 - 741 1472
SMS Center:
0857 1930 6033